Selasa, 30 Desember 2008

ETIKA SEKRETARIS




Terbiasa bekerja diperusahaan jasa yang konservatif (misal: Bank), membuat seseorang melihat segala sesuatu sesuai aturan main, dan pada tempatnya. Baik para pegawai rendahan, dari pramubakti, satpam, sampai kelas menengah seperti sekretaris, semua dilatih untuk melayani tamu dengan standar tertentu. Namun ada perusahaan tertentu, yang lebih memberi kebebasan bagi para karyawannya dalam bertingkah laku, dan ternyata perubahan memimpin dari usaha yang konservatif ke pekerjaan lain yang berbeda, menimbulkan perubahan budaya, yang perlu waktu untuk menyikapinya.
“Coba mbak, perhatikan ucapan sekretarisku,” kata seorang teman yang menjadi Top Management, yang memimpin badan standarisasi/sertifikasi, saat saya berkunjung ke kantornya. Saya sejak awal memang memperhatikan, bahwa walaupun pekerjaan temanku banyak berhubungan dengan para Top Management berbagai bidang usaha, tapi kantornya dibilangan gedung tinggi di wilayah jalan Thamrin, mencerminkan hal yang lebih santai dibanding dengan pekerjaan dia sebelumnya, sebagai salah seorang BoD dari perusahaan yang telah go public, dengan harga saham yang menanjak pesat. Saya mulai mengamati, cara berpakaian, cara berbicara para staf memang terkesan santai, bahkan terbiasa menggunakan kata “aku” untuk menunjuk dirinya. Kata temanku…”Aku risi mbak, tapi mau bagaimana lagi, habis bapak pimpinan yang lain kayaknya tak terlalu memperhatikan,” kata temanku lagi.
Saya mulai membuka kamus, benarkah kata aku dan saya memiliki konotasi berbeda. Ternyata memang kata “saya” menunjukkan bahasa yang lebih halus, yang lebih menghormat. “Saya” menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti orang pertama yang lebih takzim daripada aku. Sedangkan “aku” menurut KBBI, adalah pronomina pertama tunggal, biasanya dipakai di percakapan yang akrab, seperti antara kawan sepermainan atau sekampung, adik dan kakak, orangtua terhadap anaknya, juga dalam doa. Memang sekretaris temanku, saat menghadap temanku berkata seperti ini…”Bu, aku udah buat ringkasannya, tapi lupa kirim email ke ibu,” kata sekretaris. Memang terasa janggal, karena saya, yang dulunya belum setingkat Direktur, dan punya sekretaris, saat itu sekretaris saya tetap menggunakan bahasa formal saat bekerja di kantor. Dan tata bahasa seperti sekretaris temanku tadi, jika dilakukan saat melayani tamu, bisa menjadikan tamu tadi tersinggung.
Pertanyaannya, bagaimana cara menjelaskannya. Sebenarnya mudah, jika pada saat awal rekruitmen, para sekretaris ini dididik lebih dulu tentang budaya kerja perusahaan, termasuk etika dalam menghadapi tamu, atasan, dan berbagai ketrampilan lain, walaupun mereka adalah lulusan akademi sekretaris yang cukup terkenal. Kebiasaan kita bergaul dengan teman-teman sering terbawa masuk dalam pekerjaan sehari-hari, padahal seharusnya kita bertindak sesuai peran tersebut. Sebagai sekretaris, maka dia akan bertindak dan berbicara layaknya sekretaris yang handal, namun berbeda jika sekretaris tadi berbicara dengan teman-temannya, yang boleh saja menggunakan kata aku, lu atau gue. Ya, kita seharusnya mulai bertindak dan berperilaku sesuai peran yang kita bawakan, yang akan berbeda dengan peran kita sebagai pimpinan di kantor, sebagai bawahan, serta sebagai seorang ayah atau ibu terhadap anak-anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar